Moon Over London

Mei 23, 2021

 

credit : Pinterest




 

Tidak banyak pikiran terselip saat tubuh dituntut cekatan dan pikiran harus sinkron mengkalkulasi angka meski ada dua buah kalkulator tergeletak di meja sementara pengunjung mengantre di depannya. Namun, saat lengang dan yang tersisa hanya dus-dus berisi produk sehari-hari yang menunggu ditata, sedikit banyak ada bagian pikiran yang tidak berada di tempatnya.

Radio tidak diputar sepanjang waktu. Aku paling suka mendengarkan bagian saat penyiar bercerita. Rasanya seperti ditemani, seperti terhubung dengan jaringan yang lebih luas lagi. Kadang lucu mendengar berbagai salam kepada sanak saudara disampaikan. Ternyata hal itu masih ada, kalau tidak mau disebut ketinggalan jaman, meski kini sudah tidak lagi via SMS namun berubah menjadi Whatsapp. Seperti kebanyakan hal lain yang dianggap tempo dulu, mengirim salam lewat radio kupikir sangat manis. Yang mendengar bisa ratusan orang, tetapi yang tahu kepada siapa salam itu tertuju kemungkinan hanya orang itu sendiri.

Sore itu, radio diputar saat aku sedang menata rentengan minuman susu jahe instan. Penyiar laki-laki dengan aksen Jawa kental bercerita, aku tidak menangkap banyak, sampai aku mendengar beberapa kalimat yang diucapkannya, masih dengan logat Jawa, bahkan bercampur kata-kata bahasa Jawa.

”Kalau punya mimpi, punya cita-cita, maka kuncinya ada di dua kata. Ojo Wedi. Jangan takut.

Rupanya topik bahasan dari siaran tersebut adalah filosofi Jawa. Namun, entah bagaimana kalimat itu menghantam telak di dasar benak. Menciptakan suatu momen dimana kita tahu kita tidak akan melupakannya, meskipun hanya suatu momen kecil. Dalam salah satu seri novel Supernova, penulis favoritku, Dewi Lestari pernah menulis bahwa semesta berbicara lewat kita melalui banyak perantara. Bisa saja baliho yang kamu lihat sepulang bepergian, tulisan di belakang truk, atau dari bapak-bapak tukang ojek online yang gemar curhat tiba-tiba. Semua bisa menjadi pertanda, tentu jika kita pandai mengambil sisi baiknya.

Untukku sendiri, masa-masa sekarang ini adalah masa yang cukup kritis. Peralihan menuju tingkat selanjutnya yang penuh dengan ketidaktahuan. Kalau kamu mau tahu satu kata apa yang biasa menggambakan perasaanku setiap pagi setelah menerima pengumuman kelulusan, kata itu adalah clueless. Masa depan terasa seperti bangunan tergembok yang rentengan kuncinya sudah ada di genggaman, tinggal mencari yang pas. I have no idea what the future gonna be looks like, terlalu takut berekspektasi, tetapi tidak mau terlalu pesimistis. Sementara waktu terus maju, kesempatan baru datang silih berganti, tidak ada satupun yang datang dengan label keterangan ‘coba aku, aku akan mengubahmu menjadi begini’, ‘ambil aku, aku akan membawamu ke tempat ini,semua hanya berupa wadah kosong dengan label sederhana, ‘ikut aktivitas ini’, ‘mencoba belajar ini’ ‘mencoba membaca buku ini’, semua menawarkan perjalanan yang bisa dibayangkan, tetapi hasil akhirnya tidak ketahuan.

Ojo wedi. Kata itu terngiang-ngiang dalam kepala seperti pemantik untuk tetap berjalan. Mengambil sebanyak mungkin kesempatan meski jujur saja, tubuh ini kadang hanya mau rebahan dan memang itu yang banyak kulakukan akhir-akhir ini.

Ada juga kutipan lain, kali ini dari Barat, katanya today is the youngest you’ll ever be. Kita tidak akan pernah semuda hari ini. Kita yang hari ini tidak semuda kita kemarin.

Hari itu shift pekerjaan pertama dalam hidupku itu berakhir pukul sembilan malam. Aku dibonceng pulang dengan motor Supra keluaran 90-an, membelah jalan yang lengang. Lampu-lampu kuning berpendar di kanan-kiri. Aku melewati objek Candi Buddha yang berdiri megah dalam kegelapan—sudah menjadi saksi atas apapun yang terjadi di daerah kecil ini selama ratusan, atau bahkan ribuan tahun.

Dengan sengaja aku menengadah sedikit. Bulan ikut berpendar di atas sana, sedikit terlihat kusam karena dicampuri awan. Aku bertanya-tanya, apakah suatu hari akan kulihat bulan dari tempat berbeda. Dari tempat dimana lebih banyak kejadian terjadi, lebih banyak manusia berlalu-lalang, lebih banyak teknologi diciptakan, lebih banyak kesempatan. Apakah melihat bulan masih sama menenangkan bila dilihat dari London? Dimana tempat melihat langit berbintang terbaik di kota sebesar New York? Apakah udara malam di Ankara juga tidak terlalu dingin seperti disini?

Pegal, aku menghentikan aksi memandangi langit dan mengalihkan atensi ke jalanan. Beberapa toko masih buka, kebanyakan rumah makan. Ada juga distro. Di depan tempat rafting kulihat pasangan suami istri berjalan bergandengan sambil menenteng kantong plastik. Kemungkinan berisi mie instan, rokok, dan kopi. Apa ada pertandingan bola malam ini?

 Sedikit lebih jauh ada bapak-bapak yang tengah memilih lauk di etalase rumah makan nasi padang. Aku mendesah, ah, kota sekecil ini juga punya banyak cerita. Ada berbagai kepala dengan masalahnya, berbagai jiwa dengan mimpinya. Kecil, lengang, dan bersahaja di pukul sembilan malam. Mungkin di belahan dunia lain, tengah ada yang membuka gembok dengan kunci yang akan mengantarkannya ke lingkungan sedamai ini.

 


You Might Also Like

1 komentar