welcome to your uptight, when it flickers like a streetlight
April 17, 2025Momen paling susah untuk menulis lepas seperti ini adalah ketika nggak ada perasaan intens yang dirasa. Padahal, di kasusku, hampir tidak pernah ada perasaan intens yang hinggap terlalu lama. Mungkin karena semua aku rasa bersama-sama, sehingga jadi putih seperti batas akhir spektrum warna, atau mungkin, karena memang begitulah jadi dewasa.
Apakah jadi dewasa memang terasa seperti ini? Akhir-akhir
ini aku belajar bahwa semua orang tidak pernah benar-benar merasa bahwa dirinya
dewasa. I think adulting is a full time job no one really asked for.
Aku masih memanggil ibuku ketika aku sakit. Meski, tanpanya
ternyata aku bisa merawat diri. Tapi, seperti yang sudah-sudah, perpanjangan
tangannya menjelma orang-orang yang dengan suka hati mengulurkan tangannya padaku.
Jika aku boleh jumawa, mungkin inilah jawaban dari doa-doa bertahun-tahun lalu.
Di geladak kapal tempatku memperhitungkan dalamnya laut, di jalan berlumpur pinggir
hutan, di kamar-kamar yang terkunci dari luar, di tempat-tempat keruh yang
sudah kulupakan.
Pusara kesedihan ini tidak pernah berhenti menelanku. Apakah
menjadi dewasa adalah merasakan biru dari waktu ke waktu? Atau mengucap selamat
tinggal dan berpindah lagi dan lagi? Everybody keeps telling me to stop and put
all this down. Put all your anger down. But where?
When good girls
went to heaven, a fucked up eldest daughter went all the way to the edge of the
world just to look for a place where she can take a damn rest. Let alone put
the baggages down.
There’s no way to put all of this down.
Except maybe, there’s an exception.
My college friendship is my exception. Especially with
my girls. Something too good I didn’t know I need. A bunch of people who let me
rest, without the need of fighting anything. I am no grown woman when I’m with
them. Still a bit fucked up in the head, even worse, even better.
Di lingkunganku bertumbuh, tidak ada jeda untuk mengaduh.
Aku tidak boleh melemah, menangis, aku harus bisa melawan dunia. Keluarga-keluargaan
yang mendampingiku beberapa tahun terakhir, tidak pernah memaksaku melawan
apapun. Dalam cara yang agak susah dijelaskan, relasi ini justru membantuku
menerjang arus yang telah membentukku selama ini. Tidak ada yang memarahiku
karena tidak bisa mengerjakan sesuatu. Tidak ada kata-kata kasar bahkan ketika
aku berpikir aku sudah begitu merepotkan. Yang ada hanya… situasi yang
membuatku semakin percaya.
Dalam cara yang susah juga dijelaskan, justru aku
merasa semakin berdaya.
Keluarga-keluargaan ini, tidak pernah memaksaku lupa. Tidak
merenggut paksa bagasi-bagasi dalam kepalaku, seolah mereka paling tahu, lalu
memaksanya lepas. Mereka turut merayakannya dalam satir dan komedi, dan menimpanya
dengan banyak kenangan baik. Pada momen-momen yang tak ingin kuceritakan,
tumpahan emosi yang kujabarkan, mereka ada dan tetap ada. Membuatku lagi-lagi
semakin percaya. Di dunia yang tak seberapa ini, aku menjadi aku, dan aku
diterima.
I’m still anchored to the shore, somehow. I
know all good things eventually come to an end—and lately, the air feels like
it’s almost time. Turns out, it’s not just me who feels this shift. Deep down,
I don’t know how to be a stranger in a city full of familiar faces all over
again.
What would I do without them? I’m scared to even imagine it.
Where will I go after this? I’m scared to ask myself.
This city has settled too deeply into my bones, and the thought of being
undone—of starting over—feels heavier than I’d like to carry.
The only thing I know for sure is this: we’ve
helped each other let the light in.
And maybe, just maybe, that’s enough to keep us going.
Que sera, sera.
0 komentar