Crawling Back to You
Januari 18, 2025It’s been months, if not years, since I last wrote anything here. I forgot this blog existed, actually, until it just popped into my mind a few hours ago. My heart literally dropped knowing how I used to be—the way I used to feel, the way I used to write.
I’m totally not the same person anymore. My life has turned into a kind of fast-paced, coming-of-age, movie-like experience ever since I moved to Jogja back in late 2022. You know what people tend to say: once you move out from the place you used to call home, everything will never be the same. Every single part of your life. That’s exactly what happened to me.
So much has changed in me, particularly in how I process my emotions. It has become easier for me to write in English since my own mother language feels too humiliating when it comes to digging into my sincerest feelings.
Tapi, mari kita coba. Seperti kata pulang yang ingin kulakukan tapi selalu tertahan, mungkin menulis dengan bahasa ibu bisa membuatku menemukan sebuah jembatan.
But then again, there’s a strange kind of beauty in revisiting what once felt embarrassing. Like looking through old photo albums—you cringe, but you also smile. Maybe that’s what writing in my native language could be: a way to rediscover pieces of myself I thought were long gone.
Sore tadi aku membaca tulisan-tulisan Salma ketika masih belasan, lalu masuk kepala dua. Transisi-transisi kecil yang guncangannya amat terasa kala itu. Tertawa membaca beberapa tulisan polos dan jenaka, aku benar-benar tidak ingat pernah ada versi diriku yang itu. Tidak merasakan nyatanya dunia, tapi merasakan sedalam-dalamnya.
Aku menulis Moon Over London saat masih bekerja serabutan di warung kelontong. Idenya dari bulan yang kulihat saat aku pulang shift malam, dan dalam tulisan itu aku hanya bertanya-tanya, “Will I ever see a moon in another country?”
Dua tahun setelahnya, aku melihat bulan dalam perjalanan dari Budapest menuju Wina. Aku merasakan salju turun pertama kali dalam perjalanan Szeged ke Budapest, lalu meremas-remasnya di Grindelwald, Switzerland.
Jika akhir 2022 adalah euforia kehidupan kuliah yang sesungguhnya, 2023 adalah masanya aku menjadi sangat jumawa. Kupikir kala itu, aku sudah tahu semua jawabnya. I think my life was already so complete that I hoped time would stop. I had been to the countries I always wanted to see, thought I’d made peace with my past, had friends I’ll always cherish, and even a man I thought I’d keep forever.
Except for the friends thing, they were all lies.
2023 was a sort of high dose of anesthesia that numbed all the perpetual wounds I’d kept since I was young. Everything seemed so good that I wouldn’t ruin it. Every moral value I’d held for too long was broken just to keep it high—I simply lost myself while everyone saw me peaking in life. And it didn’t feel good.
But it taught me a lot, for sure.
Sometimes, I wonder if it’s okay that I lost myself for a while. Maybe that’s what growing up feels like—messy, confusing, but also necessary. The person I am now wouldn’t exist without those moments, as painful as they were.
Maybe that’s why 2024 feels so painful to even begin. Not only has the hype already dissipated, but another turning point in life is happening. Boxes in my room—I have to move out. Me being the only one in the formal paper. Me having no place to go back to.
The blackout days came back. I’m screaming again in my dreams, and the same kind of dreams are chasing me for weeks. But while I’m writing this, I’ve realized something wholesome.
Mungkin hari-hari tak begitu baik ini kembali untuk membuktikan sesuatu. Bahwa aku bisa mengatasinya lebih baik dari aku yang dulu. Bahwa, meski rasanya berat, aku tak begitu saja menetap dalam kepala. Aku membawanya ke atas gunung, ke pantai, ke jalanan, ke telinga teman dekatku, ke jalanan Jogja yang kuputari berkali-kali, ke obrolan-obrolan sulit yang kupaksakan terjadi. Memverbalkan apa yang kurasakan, merawatnya baik-baik meski dalam kebingungan.
Kupikir, mengapa belakangan aku begitu marah adalah karena aku sudah cukup mencintai diri sendiri. Merasa benar-benar tidak tega pada bayangan gadis kecil dalam seragam yang tercabik-cabik, tanpa seorangpun yang datang menemani. Bahkan tetap memaksanya untuk terus berlari.
Kupeluk dia dalam setiap mimpiku. Anestesi itu aku teteskan pada darah-darah keringnya, sambil bercerita soal kurtokalacs yang coklatnya meleleh dan menghangatkan tubuh di tengah suhu minus. Interlaken yang bersalju, dan lantunan biola Canon D di Roma.
Namun, belakangan aku mulai meyakini. Menyimpan dendam sebesar ini terasa sama seperti meminum racun dan berharap orang lain yang mati. Kuharap, masih ada sedikit sisa ruang dalam hatiku yang mengeras untuk bisa memberi maaf. Kuharap aku benar-benar meyakini bahwa Tuhan punya adilnya sendiri.
Jika untuk merasa lega, engkau butuh yakin ada seseorang yang akan melakukan hal berbeda, maka semoga aku cukup menjadi orangnya. Karena jika aku bisa keluar dari raga ini, Ma, sumpah mati aku akan berlari ke sana.
Meski tetap kuharap, ada sepasang tangan lain yang cukup kuat untuk kubagi separuh mimpi buruk ini. Bukan lagi menjadi tetes anestesi yang membuatku pura-pura lupa seperti yang diharapkan setiap orang. Tapi juga menjadi aku yang akan berlari ke sana, ke gadis kecil itu.
And maybe, just maybe, one day I’ll look back and see not just the pain, but the resilience it built. For now, I hold on to small hopes—of finding peace, of meeting that little girl in my dreams with open arms, and of walking forward even when the ground feels shaky.
–end.
0 komentar