Berangkat 5 Menit Lebih Awal untuk Melamun Memilih Kopi Pagi Ini
Februari 06, 2025
Susah menyadari sesuatu di jam tujuh pagi ketika sebelumnya jam tidurmu tak lebih panjang dari korek api. Tapi pagi tadi aku sadar jalanan menuju ke kantor sudah ramai mahasiswa berlalu-lalang. Aneh rasanya, ini semester pertama aku tidak lagi pergi ke kampus sesering itu. Sebagai gantinya, sebuah kantor berjarak 20 menit jadi destinasiku setiap hari, dan secara personal aku masih belum merasakan ekspansi zona nyamanku ke rutinitas harian ini.
Selain pagi yang mengantuk, aku merasakan atmosfir berbeda dari beberapa hari belakangan. Mimpi-mimpi yang sama dan meresahkan kembali membuat kontemplasi setelah membuka mata jadi ajang yang ingin kuhindari. Tapi, benar saja, bom itu jatuh juga dalam bentuk dua gelembung pesan di tengah ketikan cepatku pada brief yang selanjutnya kuselesaikan tersendat.
Ini antara kita saja yang melalui hidup seperti uluran karet, lentur dan sering terbentuk-bentuk. Intuisi kita pasti kuat untuk bisa merasa hal-hal yang akan terjadi, dada menyesak tanpa kejelasan sampai tibalah hari kita mendesahkan, “benar saja”.
Di kamar mandi sambungan telepon hanya berbunyi tut-tut-tut dan aku menjalani sisa jam kerja dengan merunut-runut. Tidak kutemukan perasaan yang harusnya kurasakan, lagi-lagi. Terapis bilang hal itu oke saja karena berarti jiwaku tak melekat pada dunia, tapi memang siapa yang ingin berlama-lama di wahana ini?
Jam pulang aku menimbang-nimbang, aku tahu apa yang menunggu. Lebih banyak gelembung pesan masuk meminta atensi, secara autopilot kubawa Brita kembali. Yang menunggu adalah tumpukan baju bercampur buku dan kasur yang akan menerimaku terbujur sampai pagi.
Aku tak pernah sebenci ini pada sebuah pola atau diri sendiri. Kini tak hanya ketidakmampuan fungsi pada hari-hari serupa puyer pahit, tapi juga ketidakmampuan merasa. Selalu tertunda. Padahal ketika aksara membuatku terlalu malu dan dikuliti, aku lebih suka sedu-sedan. Sepertinya aku sudah terlalu marah pada dunia dan hampir tidak percaya. Puyer pahit ini kuletakkan pada suhu terdingin, membeku jadi pil besar, dan akan kutelan bulat-bulat sebagai bentuk penghinaan.
Lalu tiba lagi malam yang selalu membuatku waspada. Kubuka foto-foto lama, menemukan hijau gunung dan biru laut, ah—hidup sekali di sana. Dilingkari hal-hal yang membuatku merasa aman, lengan-lengan yang merangkul, dan alam bebas yang lebih luas dari hati siapapun.
Aku lupa pernah menghidupi hari-hari penuh rencana petualangan yang terwujud hanya sepersekian waktu setelahnya. Sangat impulsif, seperti halnya dalam cerita-cerita di layar kaca. Kala itu situasi tak lebih baik, tapi tiap luka aku menyimpan dan membawanya langsung ke semesta.
Mungkin kini, perbukitan itu masih ada, tapi harus kuhadapi sendiri. Mungkin kini kaki-kakiku sengaja diikat untuk tetap di sini, menghadapi segala pendewasaan ini dengan penuh rasa berani. Hidup terasa lebih sepi, ruang-ruang terasa lebih sunyi, rasanya tak pernah selengang ini. Mungkin ada yang memanggil dan menungguku berserah, sesuatu yang cintanya tak perlu lagi membuatku meragu. Yang mencipta bukit dan memberi hidup penuh babak dan pemeran. Lima menit ya Tuhan, aku cuci muka dan ekspektasi kepada selainMu dulu.
0 komentar