rantai itu bernama patriarki

Agustus 18, 2019





Jika ditanya mengenai paham apa atau sistem sosial apa yang aku benci, maka jawabannya adalah patriarki. Aku pernah melihat banyak sekali perempuan di sekitarku kehilangan mimpi-mimpi mereka dan bahkan definisi dari diri mereka sendiri, jati diri, karena terpenjara pada sistem ini. Dengan dalih adat atau agama, patriarki membunuh perempuan dengan cara yang halus. Membunuh mimpi mereka, mendoktrin isi kepala, sampai lupa untuk apa eksistensi mereka sebenarnya.

Padahal, agama dalam konteks ini Islam tidak memiliki ajaran patriarkis di dalamnya. Meski banyak orang khususnya di Barat sana menganggap Islam adalah agama yang sangat mengekang wanita, namun kenyataannya tidak. Di suatu artikel yang aku baca di internet, sebenarnya ajaran patriarkis itu merupakan tradisi yang coincidencely ada di negara dengan penduduk mayoritas muslim, seperti negara-negara middle east misalnya.

Islam tidak membenarkan patriarki. Seperti yang kita tahu, Rasulullah saw. memperlakukan wanita dengan penuh hormat, tidak meremehkan, tidak membuat kaum kita merasa inferior. Dahulu, beliau mematahkan tradisi jahiliyah Arab yaitu mengubur bayi perempuan hidup-hidup dengan merayakan kelahiran putri pertamanya, Zainab. 

Jangan lupa soal Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah. Jika Rasulullah merupakan seorang patriarkis, beliau tidak akan menikah dengan Khadijah yang lebih mapan secara ekonomi dibanding beliau dan juga lebih tua.

Patriarki, menurutku, memang benar-benar soal tradisi yang kemudian dibalut dengan embel-embel norma agama dan adat istiadat. Padahal paham ini sudah tumbuh dan berkembang jauh sebelum agama-agama mulai disebarkan yaitu sudah ada sejak masa berburu dan meramu. Hingga kini, patriarki masih lestari dalam kadar dan bentuknya masing-masing, dimana perempuan dianggap sebagai objek yang lemah, stereotip perempuan harus begini dan begitu.

Pernah aku berdiskusi dengan seorang teman laki-laki, dia berasal dari suatu tempat yang memang aku tahu patriarkinya masih kuat, meski dia nggak setuju soal itu. Disitu aku berargumen begini, salah satu hal yang menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah perempuan harus pake make up buat conceal their flaws, tapi laki-laki enggak. Jadi basically perempuan itu bisa nerima appearance laki-laki se ‘natural’ apapun mereka, tapi kenapa kebanyakan laki-laki nggak bisa melakukan hal yang sama?
Saat itu dia bilang, kalau perempuan nggak punya pilihan soal itu (karena memang begitu society jaman sekarang) and I was like, what the hell man are u kidding me?

Tapi memang tatanan sosial yang ada terutama di Indonesia memang masih mendukung untuk suburnya konsep patriarki. Karena aku tinggal di desa, aku masih sering denger anggapan dan ajaran kalau cewek nggak boleh bangun siang, cewek itu harus rajin bersih-bersih, tapi hal yang senada nggak diterapkan ke cowok. Jadi bakal aneh kalau cewek bangun telat, dan itu nggak papa buat cowok.

Yah maklum lah, dia kan cowok.

Udah, end game kalo udah dengan pernyataan begitu mah.

Di kadar yang lebih ekstrem, ketika seorang perempuan being raped atau catcalled sama cowok, maka pasti akan ada pihak-pihak yang bilang, yaa salah dia sendiri pake baju yang...

Atau saat aku berkeluh kesah soal kenapa sih kok banyak banget wanita-wanita yang kena KDRT dan bahkan kena pukul simply for no reason sama suaminya dan ada yang bilang, itu kenapa dulu buru-buru banget milih pasangan, nggak sabar, terlanjur baperan..

Lagi-lagi salah perempuan yang mengagungkan perasaan dan penampilan. Padahal, imej perempuan yang begitu asalnya adalah dari tontonan dan asumsi publik yang menyebutnya demikian. Kita bisa lihat di sinetron-sinetron, betapa protagonis cewek dikarakterisasi sebagai makhluk lemah dan perasa yang cantiknya kayak boneka dan musti diprotect sama cowoknya atau kalau nggak dia ditindas sama antagonis cewek yang sukanya dandan. Yang terjadi di real life, justru banyak cewek yang berjuang demi mimpinya, keluarganya, atau stand up untuk dirinya sendiri. 

Relasi yang terjadi di antara perempuan dan laki-laki seharusnya adalah perbuatan saling menghargai, tidak melabeli satu sama lain. Ketika itu comes to a marriage life, perempuan tetap sesuai ayat kitab suci untuk menghormati suami, tapi si laki-lakinya harus ngasih feedback yang baik dengan menghormatinya juga. Bukan merantai perempuan dengan berbagai aturan dan mengembangkan stereotip yang toxic dan menyudutkan.

Sekian pemikiran kali ini. Maaf atas salah-salah kata, see yaww!


You Might Also Like

0 komentar