Implementasi Pancasila dalam Mengatasi Isu Kekerasan Gender
Desember 10, 2020
Sumber gambar : Pinterest
Seiring dengan
perkembangan zaman, isu kekerasan gender selalu menjadi tantangan. Seolah isu
ini tidak pernah benar-benar terselesaikan. Meski kekerasan gender bisa terjadi
pada gender apa saja, namun perempuan acap kali menjadi korban dominan yang
sering dirugikan. Data Catatan Tahunan (CATAHU) terbaru yang diterbitkan Komnas
Perempuan bulan Maret lalu menunjukkan bahwa kekerasan pada perempuan meningkat
8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir, turut tercatat pula bahwa sepanjang tahun
2019 ada 431.471 kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Namun, angka hanya
sekedar angka. Faktanya, banyak kasus kekerasan yang tidak naik ke permukaan,
sehingga tidak bisa dibayangkan berapa banyak kekerasan gender yang sebenarnya
terjadi di Indonesia.
Di masa pandemi seperti
sekarang, kekerasan gender begitu rentan terjadi. Hal ini juga telah
dikonfirmasi oleh data yang diterbitkan UN
Women yang memaparkan menanjaknya angka kekerasan seperti KDRT selama pandemi
yang diakibatkan oleh banyak faktor seperti ekonomi. Banyaknya kasus pernikahan
anak di bawah umur pun juga patut menjadi sorotan karena selain rentan
mengakibatkan kekerasan, hal itu juga menunjukkan rendahnya kesadaran
masyarakat terhadap isu kekerasan gender mulai dari kesadaran akan penyebab,
bentuk, hingga akibatnya.
Selama ini, bila
mendengar istilah kekerasan gender, masyarakat cenderung membayangkan kasus
pelecehan seksual yaitu pemerkosaan. Padahal ada banyak jenis kekerasan gender
lain yang perlu diwaspadai seperti catcalling
(contohnya seperti bersiul-siul saat seseorang lewat atau mengucapkan kata
tidak senonoh), meraba bagian tubuh tanpa persetujuan, dan perbuatan sejenis
yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Edukasi akan bentuk kekerasan seksual ini
penting agar selanjutnya perbuatan-perbuatan itu tidak dinormalisasi oleh
masyarakat sehingga akan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih
bermartabat sesuai kepribadian bangsa.
Berbicara tentang
kepribadian bangsa, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara.
Penanganan isu kekerasan seksual bisa dikembangkan dari sila-sila yang ada
dalam Pancasila. Sila pertama, mengajarkan setiap warga negara untuk menaati
agama masing-masing, yang mana tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan
perbuatan merugikan orang lain seperti kekerasan gender. Sila kedua, menyentuh
lebih dekat karena membahas tentang kemanusiaan. Perbuatan kekerasan adalah
tindakan tidak memanusiakan manusia maka jelas harus dihindari dengan mengasah
rasa empati dan menghargai sesama. Sila ketiga, berbicara tentang persatuan.
Dalam konteks ini semua pihak baik pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat
harus bersama-sama berkomitmen untuk memberantas tindakan kekerasan mulai dari
mengedukasi hingga menanggulangi (membantu korban lepas dari trauma, memberi
efek jera pada pelaku). Sementara sila keempat menyinggung tentang keadilan.
Hal yang tidak selalu didapatkan korban kekerasan. Dalam masyarakat, korban
justru sering disudutkan bahkan terkena hukuman sosial berupa pengucilan
setelah mengalami kekerasan. Hal ini harus dihentikan karena korban seharusnya
dilindungi dari gangguan fisik maupun verbal agar segera pulih dan bisa kembali
beraktivitas. Sila kelima, menerangkan bahwa semua warga negara berhak mendapat
kesejahteraan. Dengan mengeliminasi angka kekerasan, kesejahteraan masyarakat
pun akan lebih terjamin. Misalnya saja, jika pernikahan anak bisa dicegah,
seorang anak akan punya lebih banyak waktu mengembangkan diri dan bisa matang
secara fisik, psikis, dan finansial sehingga mampu membangun keluarga yang kuat
dan sejahtera.
Kekerasan gender merupakan
masalah laten dan terjadi di berbagai belahan dunia, namun bukan berarti tidak
bisa dicegah dan dihentikan. Sebagai insan berbudi, kita semua punya kapasitas
untuk melawannya.
0 komentar