How Debate Brings Joy to My HS Life

April 23, 2020


buku gelatik adalah koentji.



Dear people on the world, whoever you who read this right now, I’m sorry for the lame title.. I couldn’t think the better one, but this is what I truly feel about English Debate and how it was actually change something in my life ;)



Sebenarnya sudah dari tahun lalu aku pingin nulis setidaknya satu postingan apresiasi buat EDS (English Debate Society), salah satu wadah yang aku ikutin di sekolah. Cuma baru kali ini aja beneran niat, eheh. Tulisan ini mungkin rada panjang dan sedikit beleber kemana-mana, namanya juga cerita, ye kan. So, hope u have a nice time while reading this!


Pertama kali masuk SMA, aku masih belum tahu kalau debat itu ada dan bahkan diperlombakan. Sampai akhirnya ada pengumuman seleksi anggota EDS yang aku langsung daftar karena ada embel-embel englishnya.. meski sama sekali nggak tahu apa yang bakal dihadepin disana. Tiba-tiba waktu seleksi dikasih beberapa mosi yang kita harus tulis di kertas folio stance dan pendapat kita terkait mosi tersebut (parahnya, aku bahkan nggak tahu yang dimaksud mosi itu apa waktu itu [sigh]). Lalu seleksi kedua wawancara sama pembina dan senior-senior. 


Aku inget banget waktu itu mosi yang aku pilih berkaitan soal seragam di sekolah. Kalau nggak salah dewan ini percaya seragam itu wajib di sekolahan, gitu. Jujur, itu adalah public speaking pertama setelah ratusan purnama yang harus aku lakuin in English dan bikin gemeteran banget. Satu-satunya yang ada di pikiran waktu itu adalah judul berita tentang Finlandia yang aku liat pas scrolling timeline.. nggak baca dan bahkan nggak peduli juga itu clickbait atau engga. Intinya Finlandia sebagai negara dengan edukasi terbaik aja ga mewajibkan seragam buat anak sekolah. Bermodal itu doang.. nggak tahu dulu cara nyampainnya gimana dan seberapa stress raut wajahku wkwkw


Nggak lama setelah itu, akhirnya kepilih juga jadi anggota EDS yang latihan tiap seminggu sekali. Pas latihan itulah aku merasa kayak salah tempat disitu. Bener-bener dunia baru yang nggak pernah terjamah sebelumnya karena otak yang lebih sering beristirahat ini disuruh mikir hal-hal ‘berat’ seperti human right, pajak, dan lain sebagainya.


Kelas 10 berjalan dan EDS masih terlihat menakutkan sampai beberapa kali mencoba bolos latihan, hehe. 


Naik kelas 11, EDS justru sepi latihan sampai pertengahan semester tiba-tiba aja disuruh ikut seleksi lagi. Siang itu, beberapa anak dikumpulin di ruang lab komputer. Dikasih mosi, ditungguin Pembina sama senior. Kayak flashback aja rasanya. Disitu karena aku udah sering banget gagal dan ngeblank waktu disuruh maju nyampein argument langsung punya tekad, wah setidaknya harus mendingan nih daripada tahun kemaren. Apalagi diliat anak kelas 10 yang baru-baru juga kan, gengsi dikit la ya.

Mosi waktu itu adalah tentang pemindahan  ibukota yang waktu itu emang lagi viral. Pas maju, cukup lancar meski ada beberapa kata yang diucapin pake Bahasa Indo karena nggak tau Inggrisnya apa. Singkat cerita, kepilihlah aku bersama beberapa anak lain (mungkin sekitar 12 an, lupa) sebagai kandidat ikut lomba debat tingkat Kabupaten.


And the new journey begins.


Mulai darisitu, aku dan teman-teman dapat dispen ga ikut pelajaran selama hampir 2 bulanan buat latihan tiap hari. Dari yang mulai nggak ngerti apa-apa soal debat, kita diajari soal cara building strong argument. Beneran dari basic banget yaitu bikin contextualization. Nggak cuma dapet materi dari Pembina, kita juga dapet coach dari luar yang sabaaaar banget, namanya Miss Tami. Selain latihan di sekolah, tiap Sabtu kita dapet tambahan latihan di RE. Waktu itu strugglenya emang nyata, tapi yang aku rasain pribadi kemampuan critical thinking dan bikin argumenku masih stuck disitu-situ aja. Bahkan berkali-kali salah memahami mosi, alhasil argumen yang aku bikin kayak out of topic dan ga layak jual sama sekali :’v


Seiring dengan perjalanan itu, tanpa sadar, ada hal-hal yang berubah dari diriku. Karena setiap hari harus deliver argument di depan orang-orang dan mau nggak mau harus ngasih POI atau pertanyaan buat yang lagi ngomong di depan, aku jadi sedikit bisa public speaking. Sebelumnya aku adalah orang yang sangaaat mudah gemeteran tiap perfom di depan. Even cuma ngumpulin tugas ke depan dan diliatin anak-anak sekelas, tanganku udah agak tremor. Parah banget, kan.

nyari referensi public speaking yahud



Tapi setelah beberapa  minggu ‘digodok’ dengan keharusan deliver argument berkali-kali, aku sadar kalau aku nggak gemeteran lagi. Itu adalah salah satu pencapaian yang membahagiakan buatku. Selain itu, aku juga lebih aware soal isu-isu yang berkembang di masyarakat. Bacaanku kalau buka internet mulai bergeser dari baca-baca rekomendasi film sama entertainment menjadi Jakarta post, Kompas, dan lain-lain (karena harus nyari data buat argumen) dan hal itu kebawa sampai sekarang.


And then, semakin dekat hari perlombaan, akhirnya dipilih 3 orang buat maju yaitu aku, Diva, sama Yudho. Setelah jadi bertiga, latihan lebih intensif dan kita jadi sering banget terlibat obrolan-obrolan seru soal mosi bareng sama senior dan Pembina juga. Hari-hari latihan itu kalau sekarang diinget rasanya jadi kangen banget. Setiap hari kita punya mosi yang harus dikerjain, baik jadi government atau opposition. Setelah itu kita rekam pakai recorder HP terus dikirim ke Miss Tami buat dapet feedback. Feedback dari Miss Tami biasanya ngejelasin dengan detail kurangnya kita dimana dan darisitu bener-bener keliatan progress kita karena semakin hari, meskipun lambat, argument kita semakin masuk akal (dan panjang, dari awalnya cuma 2-3 menitan doang sama salam pembukaan). 


Tapi, waktu itu juga ada masa-masa jenuh dan stress karena merasa stuck dan ngga maju-maju. Biasanya kita selalu inget kalau sekolah udah ngasih kita support yang ga main-main sampai kita bisa gratis ambil makanan di kantin dan wi-fi perpus. Jadi kita merasa bertanggungjawab buat membanggakan almamater. Dorongan dari senior yang selama ini secara bergantian ngajarin kita dan dari bapak ibu guru Pembina pun luar biasa sekali.


Selain itu, persiapan lomba debat juga bareng sama persiapan lomba lain kayak monolog, seni kriya, seni grafis, dan lain-lain. Jadi rame aja gitu suasana tiap mau gladi bersih dan pas ngambil jatah makanan di kantin. Aku jadi kenal sama banyak anak kelas 10, kelas 11, dan kelas 12 lain yang ngelatih. 


Akhirnya, setelah dua bulan, hari H pun tiba. Tanggal 31 Oktober semua kontingen tiap cabang lomba berangkat bareng-bareng ke lokasi lomba yang nggak terlalu jauh dari sekolah kita. Sampai disana kita dikumpulin di GOR bareng sama anak-anak dari sekolah lain buat pembukaan. Belum apa-apa udah kerasa aja hawa-hawa pertempuran dan pressurenya.


Setelah pembukaan, lanjut deh registrasi dan dapet nomor undi buat debat. Kebetulan aku dipercaya jadi first speaker dan selalu dapet government side yang artinya harus setting gimana caranya supaya debatnya menjadi debatable (according to Miss Tam). Jadi first speaker government beban banget karena harus jadi orang pertama yang ngomong.


Tapi.. yang harus diinget saat debat adalah harus fokus ke juri yang ada di depan. Jadi ga perlu toleh toleh liat ekspresi lawan. Terus juga, kalau kata Ibuku, pas public speaking gitu bayangin aja semua orang di ruangan itu adalah batu yang kita ga harus peduliin banget. Sounds weird but somehow it works, hehe. 


Alhamdulillah.. kita lolos di round pertama dan kedua hingga bisa lanjut di round ketiga menjelang Maghrib. Selama lomba berlangsung, kemistri tim kita beneran diuji (duh). Kita bertiga saling bisik-bisik (dengan agak heboh) soal gimana cara ngebeat argument lawan yang lagi ngomong dan dengan antusiasme tinggi geprok-geprok meja ala anak UI sama UGM kalau lagi debat (kudu nggaya pokoke).


Nggak tau kenapa, out of all the chaos and our fears, we enjoyed it so much like it was a celebration for our 2 months struggles rather than a scary competition. Aku bahagia dan bangga karena waktu itu kita all out. Aku bisa ngalahin semua ketakutan di dalam kepala dan nyampein argumen dengan berani, Diva bisa nyambungin argumen dengan bagus banget, dan Yudho yang masih kelas 10 dan berkali-kali bilang nervous bisa memukau banget dengan pronounciationnya yang Amerika abis :D (aku masih terharu gaes)


And finally… we won the third place! Nama sekolah kita dipanggil dan itu adalah… salah satu momen paling indah dalam hidup (cheesy but true!). Pokoknya bahagia banget, sampai hari ini. 

yeaaay


Meski masih sangat pemula, tapi aku merasa enjoy banget di bidang per-debatan. Aku nikmatin saat-saat research buat bikin argument dan pas delivernya juga. Dari yang awalnya gak kenal, sekarang debat jadi salah satu hal yang aku kangenin. Terimakasih buat Mr Jon yang udah ngenalin aku ke dunia EDS, Miss Tami, kakak-kakak kelas, and also my beloved team. Semoga ada kesempatan lagi buat comeback dan dapet juara 1 (syukur-syukur best speaker). Aamiin.



That’s all. Sori dengan bahasa yang belepotan, ini ditulis jam 1 pagi gara-gara ngopi dan ga bisa tidur. See u on the next story!!


You Might Also Like

0 komentar